Terlahir di Alam Suci dengan Membawa Serta Karma dan
Terlahir di Alam Suci dengan Karma yang Terkikis
Teringat dulu sekali.
Ada dua aliran Bhiksu, saling berperang pena, bunyi ledakan di mana-mana, masing-masing saling mengutip ayat Sutra dan menulis pengalaman nyata.
Satu aliran mengatakan:
Sukhavatiloka Barat, asalkan menyebut nama Buddha pada saat jelang wafat, sepenuh hati dan tidak galau, maka bisa langsung terlahir di Buddhaloka.
Satu aliran lagi mengatakan:
Tidak boleh. Rintangan karma belum dikikis habis, sampai di Sukhavatiloka Barat, alam suci ternoda, apakah itu masih alam suci?
Satu aliran mengatakan:
Sukhavatiloka Barat, termasuk jalan yang mudah ditempuh, jika harus mengikis habis rintangan karma baru terlahir di alam suci, apakah masih dianggap jalan yang mudah ditempuh?
Satu aliran lagi mengatakan:
Buddhadharma setara, jika ada yang namanya jalan yang mudah ditempuh, jalan yang sulit ditempuh. Begitu insan melihat ada jalan yang mudah ditempuh, siapa lagi yang mau menekuni jalan yang sulit ditempuh?
Satu aliran mengatakan:
Buddha Amitabha sangat welas asih, sehingga ada Dharma penjapaan nama Buddha.
Satu aliran lagi mengatakan:
Memangnya Buddha yang lain tidak welas asih?
Satu aliran mengatakan:
Sekte Sukhavati, tidak perlu kikis karma, menjapa nama Buddha adalah kikis karma, sepuluh penjapaan dengan hati yang bersih, memutuskan terlahir di alam suci.
Satu aliran lagi mengatakan:
Mesti:
Lebih dulu menekuni Sambhara-Marga.
Kemudian menekuni Prayoga-Marga.
Hingga mencapai Darsana-Marga.
Dilanjutkan dengan Bhavana-Marga.
Terakhir barulah Parayana.
Inilah tingkat melatih diri, tidak ada yang langsung naik ke surga dalam selangkah.
Satu aliran berkata:
Dalam sejarah, banyak guru sesepuh aliran lain, terakhir kembali ke Sekte Sukhavati, karena Sekte Sukhavati bisa terlahir di alam suci dengan membawa serta karma.
Satu aliran lagi berkata:
Terlahir di alam suci Buddhaloka begitu mudah, lantas apa nilai belajar Buddha? Terlahir di alam suci semudah ke pasar, buat apa akademi Buddhis? Cukup menjapa Buddha saja?
Satu aliran berkata:
Sampai di Buddhaloka, rintangan karma pun sirna dengan sendirinya.
Satu aliran lagi berkata:
Jika rintangan karma bisa sirna dengan sendirinya, kalau begitu, buat apa Buddhadharma?
Pokoknya:
Kedua belah pihak tidak mau mengalah satu sama lain, saling berdebat, temanya masih tetap terlahir di alam suci dengan membawa serta karma dan terlahir di alam suci dengan karma yang sudah terkikis.
Seseorang bertanya pada saya, “Sebenarnya mana yang benar? Terlahir di alam suci dengan membawa serta karma atau terlahir di alam suci dengan karma yang sudah terkikis?”
Saya menjawab, “Kedua-duanya benar!”
Orang bertanya, “Membawa serta karma, karma yang sudah terkikis, keduanya berbeda, bagaimana keduanya benar?”
Saya menjawab, “Rintangan karma kembali ke rintangan karma, terlahir di alam suci kembali ke terlahir di alam suci.”
Orang bertanya, “Maksudnya?”
Saya menjawab, “Udara kembali ke udara, tanah kembali ke tanah.”
Orang bertanya, “Bukankah itu rintangan karma yang sudah dikikis?”
Saya menjawab, “Rintangan karma ibarat bayangan manusia, karma mengikuti tubuh, jika tubuh sudah tidak ada, apakah masih ada bayangan?”
Orang bertanya, “Bukankah hanya karma yang mengikuti tubuh?”
Saya menjawab, “Jika tidak ada manusia, di mana karma?”
(Kalimat ini, mohon direnungkan baik-baik, ada rahasia di dalamnya) “Sarat dengan rahasia, penuh dengan rahasia”
sumber: Buku ke254 "Pencerahan Termulia", judul : Terlahir di Alam Suci dengan Membawa Serta Karma dan Terlahir di Alam Suci dengan Karma yang Terkikis
http://tbsn.org/indonesia/news.php?cid=23&csid=265&id=18
Ada dua aliran Bhiksu, saling berperang pena, bunyi ledakan di mana-mana, masing-masing saling mengutip ayat Sutra dan menulis pengalaman nyata.
Satu aliran mengatakan:
Sukhavatiloka Barat, asalkan menyebut nama Buddha pada saat jelang wafat, sepenuh hati dan tidak galau, maka bisa langsung terlahir di Buddhaloka.
Satu aliran lagi mengatakan:
Tidak boleh. Rintangan karma belum dikikis habis, sampai di Sukhavatiloka Barat, alam suci ternoda, apakah itu masih alam suci?
Satu aliran mengatakan:
Sukhavatiloka Barat, termasuk jalan yang mudah ditempuh, jika harus mengikis habis rintangan karma baru terlahir di alam suci, apakah masih dianggap jalan yang mudah ditempuh?
Satu aliran lagi mengatakan:
Buddhadharma setara, jika ada yang namanya jalan yang mudah ditempuh, jalan yang sulit ditempuh. Begitu insan melihat ada jalan yang mudah ditempuh, siapa lagi yang mau menekuni jalan yang sulit ditempuh?
Satu aliran mengatakan:
Buddha Amitabha sangat welas asih, sehingga ada Dharma penjapaan nama Buddha.
Satu aliran lagi mengatakan:
Memangnya Buddha yang lain tidak welas asih?
Satu aliran mengatakan:
Sekte Sukhavati, tidak perlu kikis karma, menjapa nama Buddha adalah kikis karma, sepuluh penjapaan dengan hati yang bersih, memutuskan terlahir di alam suci.
Satu aliran lagi mengatakan:
Mesti:
Lebih dulu menekuni Sambhara-Marga.
Kemudian menekuni Prayoga-Marga.
Hingga mencapai Darsana-Marga.
Dilanjutkan dengan Bhavana-Marga.
Terakhir barulah Parayana.
Inilah tingkat melatih diri, tidak ada yang langsung naik ke surga dalam selangkah.
Satu aliran berkata:
Dalam sejarah, banyak guru sesepuh aliran lain, terakhir kembali ke Sekte Sukhavati, karena Sekte Sukhavati bisa terlahir di alam suci dengan membawa serta karma.
Satu aliran lagi berkata:
Terlahir di alam suci Buddhaloka begitu mudah, lantas apa nilai belajar Buddha? Terlahir di alam suci semudah ke pasar, buat apa akademi Buddhis? Cukup menjapa Buddha saja?
Satu aliran berkata:
Sampai di Buddhaloka, rintangan karma pun sirna dengan sendirinya.
Satu aliran lagi berkata:
Jika rintangan karma bisa sirna dengan sendirinya, kalau begitu, buat apa Buddhadharma?
Pokoknya:
Kedua belah pihak tidak mau mengalah satu sama lain, saling berdebat, temanya masih tetap terlahir di alam suci dengan membawa serta karma dan terlahir di alam suci dengan karma yang sudah terkikis.
Seseorang bertanya pada saya, “Sebenarnya mana yang benar? Terlahir di alam suci dengan membawa serta karma atau terlahir di alam suci dengan karma yang sudah terkikis?”
Saya menjawab, “Kedua-duanya benar!”
Orang bertanya, “Membawa serta karma, karma yang sudah terkikis, keduanya berbeda, bagaimana keduanya benar?”
Saya menjawab, “Rintangan karma kembali ke rintangan karma, terlahir di alam suci kembali ke terlahir di alam suci.”
Orang bertanya, “Maksudnya?”
Saya menjawab, “Udara kembali ke udara, tanah kembali ke tanah.”
Orang bertanya, “Bukankah itu rintangan karma yang sudah dikikis?”
Saya menjawab, “Rintangan karma ibarat bayangan manusia, karma mengikuti tubuh, jika tubuh sudah tidak ada, apakah masih ada bayangan?”
Orang bertanya, “Bukankah hanya karma yang mengikuti tubuh?”
Saya menjawab, “Jika tidak ada manusia, di mana karma?”
(Kalimat ini, mohon direnungkan baik-baik, ada rahasia di dalamnya) “Sarat dengan rahasia, penuh dengan rahasia”
sumber: Buku ke254 "Pencerahan Termulia", judul : Terlahir di Alam Suci dengan Membawa Serta Karma dan Terlahir di Alam Suci dengan Karma yang Terkikis
http://tbsn.org/indonesia/news.php?cid=23&csid=265&id=18