{..lanjutan..}
Penghuni di Varga Bawah Tengah, ketika masih hidupnya di bumi, mereka telah banyak berbuat kebaikan, memupuk akar-akar yang baik dan berkeinginan lahir di Sukhavati Loka. Berkat kekuatan Pranidhana Buddha Amitabha, mereka ditempatkan di tingkat alam kedua di Sukhavati Loka.
Varga Bawah Atas adalah tingkat alam ketiga di Sukhavati Loka, lebih tinggi setingkat dari Varga Bawah Tengah. Penghuni di Varga Bawah Atas ini, pada masa hidupnya di bumi, mereka telah menjalankan Pancasila dengan baik, dan tekun menjaga Delapan Larangan, serta giat melakukan kebaikan, berdana, dan bertindak sangat hati-hati sesuai dengan Ajaran Sang Buddha.
Sesudah mengelilingi Varga Bawah, Kuan She Ing Phu Sa mendesak kami pula, agar cepat meninggalkan Varga Bawah secepat mungkin, karena waktu kami sangat sempit.
NEGERI TERATAI VARGA TENGAH
Kami meninggalakan Varga Bawah, segera menuju Varga Tengah. Kami memanjatkan Surangama Dharani. Badanku terbang melayang seperti pesawat. Dalam perjalanan kami melihat pancaran sinar gemerlapan dari gedung istana, dan puncak lancip pagoda-pagoda dengan kecepatan yang tinggi terbang berpapasan dengan kami. Badan saya semakin menjadi tinggi dan besar. Bunga teratai di Varga Tengah besar-besar, sebesar satu propinsi di Tiongkok kurang lebih 800 li (400 Km) diameternya. Jarak dari Singapore ke Kuala Lumpur hanya 180 li (90 km) saja. Maka 800 li kira-kira sama dengan jarak Singapore ke daerah tengah Thailand. Bunga teratainya begitu besar, maka penghuninya ikut menyesuaikan dengan keadaan, menjadi sebesar raksasa.
Kuan She Ing Phu Sa berkata, “Penghuni Varga Tengah kebanyakan asal dari empat kelompok masyarakat (Bhiksu, Bhiksuni, Upasaka, dan Upasika), maka tingkat kesadaran mereka lebih tinggi setingkat dari penghuni di Varga Bawah. Mereka pada masa hidup di bumi telah bertekad berusaha melepaskan belenggu Triloka. Ketika di bumi mereka tidak hanya rajin melakukan kebaktian, tekun menjalankan Sila Vinaya, disamping itu mereka sangat bersemangat memajukan pendidikan Buddha Dharma, membangun Vihara, mencetak buku-buku tentang Ajaran Agama Buddha untuk menyebar luaskan Dharma. Tindakan dan tutur kata mereka selalu sesuai dengan hati yang tulus ikhlas, berdasarkan Catvari Apramani (Empat kebajikan yang tak terhingga yaitu Maitri, Karuna, Mudita, dan Upheksa) sehingga pada akhir hayat mereka, berkat jasa pahala mereka dan bantuan trisuci di Sukhavati Loka. Mereka di tempatkan di Varga Tengah. Varga Tengah seperti Varga Bawah juga dibagi 3 tingkat, yaitu Varga Tengah Atas, Varga Tengah-Tengah, Varga Tengah Bawah. Penempatan penghuni di ketiga tingkat itu menurut tingkat ketekunan mereka bertapa, serta jasa pahala yang mereka pupuk pada masa hidup di dunia fana.
Tak lama kemudian kami telah sampai di sebuah Aula Istana yang amat besar, saya segera bernamaskara kepada Bodhisattva yang berada di Aula. Sesudah dibawah, Kuan She Ing Phu Sa melanjutkan perjalanan kami, tahu-tahu kami tiba di sebuah kolam teratai. Wah! Alangkah besar dan indahnya kolam Teratai di Varga Tengah ini ! Dibandingkan dengan yang di Varga Bawah, entah berapa kali lebih besar, lebih indah, lebih megah dan lebih agung. Sekeliling tepi kolam bertahtahkan tujuh macam intan manikam, bunga teratai di dalam kolam luar biasa bagusnya, garis-garis urat setiap kelopak (mahkota) sangat indah dan halus sekali serta setiap garis berkilauan dengan warna masing-masing. Garis-garis yang beraneka warna saling bersilang membentuk gambar-gambar yang indah dan menarik, sungguh sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Aneh bin ajaib! Setiap kuntum bunga teratai terdiri dari entah beberapa sap mahkota dan setiap sap terdiri entah beberapa mahkota, dalam setiap mahkota yang luas itu terdapat beraneka ragam bangunan, ada pavilion, teras, gedung bertingkat serta pagoda pagoda tinggi dan semuanya memancarkan puluhan jenis warna sinar sangat menakjubkan! Para penghuni di bunga teratai semua berbadan merah emas yang tembus cahaya bagaikan kristal, serta berkilau kilau oleh pantulan sinar, mereka mengenakan baju seragam dan mereka semua pemuda berumur kurang lebih 20 tahun, diantaranya tak ada orang tua atau anak kecil.
Keadaan orang-orang disekeliling kami mengingatkan saya terhadap badan diriku. Saya terperanjat menengok diriku, entah kapan keadaan diriku telah berobah bentuk dan tampang mukaku mirip dengan mereka dan bajuku juga seragam sama dengan mereka, Cuma Kwan She Ing Phu Sat yang tetap seperti keadaan semula.
Saya bertanya kepada Beliau, “Mengapa semua benda, orang di sini bersinar sesuai dengan warna cahaya masing-masing. Dan mengapa badanku juga berobah menjadi seperti mereka?”
Beliau menjelaskan, “Hal ini semuanya oleh karena Abhijna (kekuatan sakti) Sang Buddha Amitabha, sehingga semua benda makhluk di sini berkilau terpantul sinar Sang Amitabha yang tak terbatas. Dan kekuatan Abhijna Beliau merobah bentuk warna benda-benda, makhluk-makhluk di sini termasuk Anda dan mereka. Kecuali bila anda telah mempunyai kekuatan Abhijna pada dirimu, Anda dapat mempertahankan ciri khas kepribadianmu.”
Di Varga Tengah kadang-kadang juga mempunyai gedung bertingkat yang agak suram, ini hanya suatu pemandangan delusi yang sementara jikalau si penghuni tiba-tiba mengigat keluarganya pada masa hidupnya di dunia fana. Kuan She Ing Phu Sa mengajak saya masuk ke sebuah gedung yang suram. Sekitar gedung itu dikelilingi taman bunga yang luas dan indah, ratusan bunga berkembang seolah-olah berlomba memamerkan keindahannya, burung-burung berkicau serta melompat dari dahan ke dahan, pemandangan taman demikian tidak beda dengan rumah mewah seorang yang kaya raya di dunia fana. Semua keluarganya sangat bertakwa kepada Triratna, di ruang tamu mereka terpampang altar yang indah dan rupang Trisuci adalah pujaan mereka. Ibu, bapak, istri, saudara, anak famili dan sebagainya semua berkumpul di ruang tamu yang luas itu. Mereka bersama-sama mengadakan kebaktian, membaca Sutra, menyebut-nyebut nama Sang Buddha. Laki perempuan, tua muda semuanya berjumlah lebih dari 20 orang.
Kuan She Ing Phu Sa bercerita, “Keluarga ini pada masa hidup di dunia fana, berkelakukan baik, suka berdana, menghayati Catvari Apramani yaitu Maitri, Karuna, Mudita, dan Upeksa. Antara mereka ada yang lahir di Varga Tengah, namun pertalian kasih sayang dengan keluarganya belum putus sama sekali, maka bayangan keluarga besarnya kadang-kadang terpantul di layar batinnya.”
Menurut Kuan She Ing Phu Sa bahwa Sukhavati Loka terbagi tiga Varga dan setiap Varga terbagi lagi tiga tingkatan, maka jumlah semuanya 9 tingkat, penghuni-penghuni di Varga Bawah-Bawah dapat meningkat setingkat lebih tinggi dari Varga Bawah Tengah, melalui meditasi yang tekun, naik setingkat demi setingkat, bunga teratai yang dimilikinya di Varga Bawah Tengah bagaikan kendaraan dapat dipindahkan ke Varga Bawah Tengah. Peristiwa demikian seperti terjadi dalam Samadhi dari Dhayana pertama masuk ke Dhyana kedua, masuk ke Dhyana ketiga, terakhir sampai masuk ke Dhyana keempat, setahap demi setahap terakhir sampai pada Varga Atas Atas tidak perlu melompat lagi.
Tiba-tiba terdengar suara genta, bergema di angkasa, dengan sekejap mata, semua gedung, taman yang indah tadi lenyap tanpa bekas. Mereka memakai baju seragam. Jumlah orang makin lama makin banyak, sehingga tidak terhitung banyaknya memenuhi lapangan yang besar dan luas sekali.
Kuan She Ing Phu Sa memberitahu saya, “Hari ini Bodhisattva Mahasthamaprapta dan Bodhisattva Nityadukta akan memberikan khotbah tentang Sutra Sad Dharma Pundarika, maukah anda ikut mendengarkannya?”
“Saya paling gemar mendengar khotbah yang bertema Sad Dharma Pundarika, mari kita segera ke sana !” saya menjawab dengan gembira.
Sambil berbincang, kami telah sampai di podium. Di sekitar podium dikurung oleh jala-jala berkilau-kilau seperti ribuan pelangi silang menyilang melengkungi podium. Beribu-ribu mata jala bagaikan mutiara-mutiara warna-warni menghiasi sekitar podium yang tingginya puluhan meter terbuat dari emas, perak bertahtahkan dengan tujuh jenis intan permata, luar biasa agung dan megah. Di dua sisi podium terdapat jajaran pohon besar setinggi pencakar langit di Amerika. Setiap dahan pohon terdapat bangunan teras pavilion, gedung bertingkat, dan lain sebagainya, di mana banyak Bodhisattva- Bodhisattva berkumpul menanti khotbah.
Kuan She Ing Phu Sat membawa saya naik ke podium, dan memperkenalkan saya kepada Bodhisattva Mahastamaprapta dan Bodhisattva Nityadyukta. Saya segera bersujud kepada mereka. Beliau mempersilahkan saya duduk dibaris samping podium. Saat ini asap wewangian entah dari mana berluik-liuk naik ke atas, harum dan segar sekali. Alunan musik kayangan yang merdu datang dari angkasa jauh. Banyak burung-burung cantik mungil beterbangan, menari-nari naik turun mengikuti tinggi renda nada irama musik. Setelah saling memberi salam Bodhisattva Mahastamaprapta berdiri mengumumkan perjamuan dibuka dan khotbah dimulai.
Bodhisattva Nityadyukta memulai khotbahnya, :”Sutra Sad Dharma Pundarika Sutra adalah akar dan sumber dari semua Buddha di Negeri teratai, adalah pedoman dan dasar untuk mencapai ke-Buddha-an. Setiap insan yang bercita-cita mencapai Samyaksambodhi harus membaca Sutra ini. Pada pertemuan lalu telah saya jelaskan tentang ‘Apakah Saddharma Pundarika itu?” Sad Dharma Pundarika Sutra suatu harta kekayaan yang tak ternilai harganya. Dan hari ini akan saya uraikan tentang fungsi-fungsinya..” Uraian Beliau hampir 1 jam lamanya.
Setelah saya mendengar kata-kata yang Beliau kutip dari Sutra Sad Dharma Pundarika berbeda dengan Sutra Sad Dharma Pundarika Sutra yang saya baca di dunia fana, [NOTE.6] saya lalu bertanya kepada Kuan She Ing Phu Sa mengenai keraguanku. Beliau menjelaskan, “Sutra Sad Dharma Pundarika sutra di bumi mienggunakan kata-kata dan contoh-contoh yang mudah dimengerti oleh orang di bumi, sedangkan sutra Sad Dharma Pundarika di sini lebih mendalam, namun bagi penghuni Sukhavati Loka yang pengetahuannya lebih luas malahan lebih mudah dipahami. Biarpun penggunaan kata-kata berbeda-beda, namun arti yang terkandung sama. Hal ini sama dengan Alam Dewa yang tidak mengerti Alam Arahat, Arahat tidak mengerti Alam Bodhisattva, dan Bodhisattva tidak memahami alam Buddha. Anda tadi mendengarkan uraian Bodhisattva Nityadyukta, Beliau mengucapkan dengan satu bahasa saja, namun beribu-ribu bangsa dari manca negara mendengar dan memahami seperti bahasa mereka masing-masing. Inilah yang disebut Dharani/dharani Samaya.”
Seusai khotbah, terjadilah suatu peristiwa yang tidak dapat dibayangkan oleh orang bumi. Saat ini banyak benda-benda aneh berguguran dari angkasa bagaikan hujan. Bunga-bunga warna-warni beraneka ragam serta macam-macam intan permata berkilau-kilau menggores angkasa bagaikan kembang api memancarkan beribu-ribu sinar beraneka warna yang menakjubkan. Para hadirin yang di bawah podium hampir semuanya mengulurkan tangannya atau mengangkat ujung bajunya untuk menadahi bunga atau benda yang jatuh itu. Kemudian terdengar alunan musik yang merdu hening entah dari mana. Tiba-tiba para hadirin di bawah podium yang semuanya terdiri dari pemuda laki-laki berbaju merah dengan serentak menjelma menjadi pemudi-pemudi mengenakan blus hijau dan rok merah, pada pinggangnya diikat pita (sabuk) kuning emas, mereka melompat-lompat, menari-nari dengan riang gembira. Dengan sekejap mata mereka menghilang dan sekonyong-konyong lapangan yang penuh dengan gadis cantik menjelma menjadi taman bunga yang penuh dengan bunga teratai yang subur dan bulat-bulat, masing-masing memancarkan sinar berwarna indah sesuai dengan warna masing-masing. Beratus ribu bunga teratai beraneka warna berkilau-kilau memantulkan cahaya masing-masing yang mengagumkan bagaikan ombak-ombak panca warna di lautan luas. Tiba-tiba di atas setiap bunga teratai muncul seorang Bodhisattva bersila dengan tenang dan agung sekali. Dengan tidak terduga pula taman teratai dengan serentak menjadi rimba pagoda, pagoda emas, pagoda perak, dan warna-warna lainnya yang tidak terhitung banyaknya. Setiap pagoda memancarkan sinar ke empat penjuru sesuai dengan warna masing-masing. Pemandangan yang demikian indah menakjubkan mempesona sungguh tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Ketika saya sedang terpaku pada pertunjukan yang luar biasa itu, sekonyong-konyong beratus-ratus gadis berbaju hijau muncul dari angkasa melayang dengan cepat lalu menukik menuju gedung aula menembus atap, menerobos dinding dan pilar seolah-olah melayang di udara bebas tanpa halangan. Saya terkejut sekali dan bertanya kepada Kuan She Ing Phu Sa.
Beliau menjelaskan, “Sukhavati Loka adalah penjelmaan kekuatan Abijna Sang Buddha Amitabha, maka makhluk, benda, gedung, teras, pavilion, istana, pagoda maupun sungai, gunung, bunga rumput, pepohonan semuanya seperti kristal yang tembus cahaya, dan tiada satupun bersifat materi. Karena itulah mereka dapat menembusnya sebebasnya tanpa halangan, sekarang silakan anda coba sendiri.”
Mengikuti sarannya, saya mencoba menancapkan tanganku pada dinding pilar, semuanya dapat kutembusi dengan mudah, tangan, kaki dan badanku dapat menembus masuk keluar dengan bebas, tetapi bila diraba dengan tangan, semua benda, bangunan seolah-olah barang nyata dan padat seperti benda-benda di bumi. Saat kita berniat menerobosnya maka kita dapat sesuka hati menerobosinya.
Selanjutnya Kuan She Ing Phu Sa membawa saya meninjau kedua tempat yang ajaib, yaitu Gunung Delapan Pemandangan Besar dan Pusat Pameran Dunia teratai.
GUNUNG DELAPAN PEMANDANGAN BESAR
Penghuni Varga Tengah Bawah pada umumnya masih mempunyai delusi sedikit namun sebagian kecil sudah bersih dari delusi. Tampang mereka rata-rata sama dan usianya antara 16 tahun sampai 20 tahun. Mereka berpakaian seragam, tak ada perbedaan jenis kelamin (bukan laki-laki dan juga bukan perempuan). Kegiatan harian mereka kebanyakan berkumpul melakukan puja bhakti bersama, menyani menari bersama, mereka suka hidup berkelompok. Bunga teratai di sana dibandingkan dengan yang di Varga Bawah jauh lebih besar, lebih super, sap (kelopak) nya lebih banyak, warnaya juga lebih banyak dan sinar-sinarnnya lebih cemerlang.
Di sini terdapat sebuah gunung ajaib yang disebut “Gunung Delapan Pemandangan Besar”, delapan pemandangan tersebut melambangkan Parijana (8 indra, konsepsi, pencerapan) yaitu:
1. Caksur Vijnana : Indera penglihatan/mata
2. Srotra Vijnana : Indera pendengaran/telinga
3. Ghrana Vijnana : Indera Penciuman/hidung
4. Jihva Vijnana : Indera Rasa / lidah
5. Kaya Vijnana : Indera Penyentuhan / badan
6. Mano Vijnana : Indera pengertian/perasaan hati atau paham
7. Klisa-Mano Vijnana : Indera Diskriminasi/akal, pertimbangan, pembadingan, pembeda, serta kalkulasi.
8. Alaya Vijnana : Indera pengingatan.
Gunung 8 Pemandangan Besar ini didirikan oleh Buddha Amitabha khusus untuk mendeteksi, mengukur sisa-sisa delusi atau karma yang masih tertinggal di 8 Vijnana bagi pendatang baru di Varga Tengah Bawah. Penghuni di sini harus bertapa terus menerus sehingga tercapai sunyata (kosong, tanpa kilesa, tanpa delusi).
Pemandangan pertama disebut ‘Dunia Sinar Terang’ yang melambangkan Caksur Vijnana (Indera Penglihatan) kita, di dalam alam pemandangan ini, kita dapat melihat dengan mata telanjang segala sesuatu yang terjadi di seluruh penjuru. Misalnya kita ingin melihat riwayat seseorang di dunia fana, tentang keadaannya pada kelahiran yang lalu, atau beberapa kelahiran yang lampau, dengan sekejab mata kita akan tampak suatu kejadian si anu pada beberapa kelahiran yang lalu ia adalah seekor babi, kemudian bertumimbal lahir menjadi pembantu, tumimbal lahir lagi menjadi orang kaya, sampai menjadi jendral, menteri atau raja... , semuanya tampil ke depan mata kita satu per satu seperti film serial. Bahkan keadaan tanah suci, Buddha Ksetra, alam dewa dan lain-lainnya semuanya dapat dipantau di sini.
Pemandangan kedua disebut ‘Dunia Suara Gema’ yang melambangkan Srotra Vijnana (Indera Pendengaran) kita, dari alam kita dapat mendengar segala suara dari dunia di sepuluh penjuru. Di sini pendengaran kita menjadi sangat peka, suara dari jauh, suara semut pun dapat kita dengar dengan jelas, bahkan suara yang bising dan campuran dari beberapa suara dapat kita beda-bedakan terdiri dari suara apa saja. Kita pun dapat mendengar Sang Buddha sedang berkotbah di tempat jauh, sekarang Beliau sedang menguraikan Sutra apa?.. di bab apa?... kalimat apa? ... suaranya, intonasinya sangat jelas sehingga artinya dapat dimengerti dengan jelas.
Pemandangan ketiga disebut ‘Dunia Harum Semerbak’yang melambangkan Ghrana Vijnana (Indera Penciuman) kita, di dunia ini hidung kita menjadi sangat peka sekali, segala aroma bau setelah kita cium dengan hidung, kita segera dapat mengetahui beberapa wewangian yang terkandung di dalam bau itu. Misalnya dari bau wanita hamil, kita segera dapat mengetahui bayi di dalam kandungan itu bakal laki-laki atau perempuan. Dengan mencium sebatang logam alloy kita dapat mengetahui logam tersebut campuran emas, perak, besi, aluminium, dan lain-lain.
Pemandangan keempat disebut ‘Dunia suara Kecap’ yang melambangkan Jihva Vijnana (Indera Lidah), segala suara ataupun bahasa yang keluar dari mulut makhluk-makhluk di sepuluh penjuru, dari Buddha Dhatu sampai dengan Niraya Dhatu (neraka), dapat kita dengar dan mengerti dengan jelas.
Pemandangan kelima disebut ‘Dunia Tubuh Emas’ yang melambangkan Kaya Vijnana (Indera Penyentuhan), di dunia ini indera penyentuhan kita luar biasa pekanya, kita dapat membedakan segala sesuatu dengan menyentuh saja kita dapat mengetahui bentuk warna benda tersebut dengan jelas seolah-olah kita lihat dengan mata. Dengan rasa sentuh kita dapat merasakan beradanya para Buddha Bodhisattva di Buddha Ksetra di Sepuluh Penjuru. Misalnya Dvatrimsa (Tiga puluh dua bentuk) penjelmaan Kuan She Ing Phu Sat dapat kita lihat dengan indera penyentuhan.
Pemandangan keenam disebut ‘Dunia Batin’ yang melambangkan Kaya Vijnana (Indera Pengertian, Kesadaran), di dunia ini kita dapat membatin, mengetahui jalan pertapaan para Buddha di segala penjuru, dari masa manusia mereka, sampai mencapai Ke-Buddha-annya. Semua peristiwa Beliau tampil di alam batin kita, dan kami dapat mengetahui dengan jelas riwayat tumimbal lahir Beliau sampai beribu-ribu kali seperti gambar bioskop tampil di layar batin kita.
Pemandangan kedelapan, disebut ‘Dunia Luas Tanpa Batas’ yang melambangkan Alaya Vijnana (Indera Pengingat), alam ini luas mencakup ruang dan waktu yang tak terbatas. Segala peristiwa yang terjadi di trikurun waktu (masa lalu, masa sekarang, masa yad), di sepuluh penjuru dharmadatu, tidak ada sesuatupun yang tak dapat dilihat, diketahui.
PUSAT PAMERAN NEGERI TERATAI
Pada umumnya, penghuni-penghuni di Varga Tengah-Tengah, pada masa hidupnya di dunia fana, mereka cukup mengerti Dharma, selalu menghayati dan mengamalkan Dharma. Mereka tekun bertapa, rajin menjalankan kebaktian, serta berdana tanpa pamrih, maka mereka telah menanam bibit baik di Varga Tengah-Tengah, serta memupuk akar baiknya (Kusala Mula) dengan baik sehingga bunga teratainya bertumbuh dengan subur. Pendeknya, penghuni di Varga Tengah-Tengah baik dalam penghayatan ajaran Buddha, melakukan meditasi maupun dalam menjalankan pengamalan lebih maju dan rajin dari penghuni di Varga Bawah.
Di alam ini, gedung, pagoda, dan bangunan lainnya lebih banyak , lebih besar, dan lebih tinggi, serta lebih indah dan megah dari yang di Varga Bawah. Di sini setiap hari turun hujan bunga, dan penghuninya setiap hari memungut bunga-bunga yang indah itu untuk mempersembahkan kepada Para Buddha di Seluruh Penjuru. Bunga-bunga yang harum dan cantik itu entah berapa ribu kali lebih indah dari bunga-bunga di bumi. Alunan musik merdu, halus dan sentimental datang dari langit sungguh sulit melukiskan keindahan dengan kata-kata. Saya kutip beberapa kalimat dari Sutra sebagai berikut, saya kira paling sesuai dengan keadaan yang sebenarnnya, “Beribu-ribu jenis musik istana di dunia fana, tak dapat menandingi satu nada yang ada di Kerajaan Pemutar Roda Dharma. Beribu-ribu jenis musik di Alam Dewa Travastrimsas, tidak dapat menandingi satu nada musik dari Alam Dewa Mahasvara, dan beribu-ribu jenis musik di Alam Dewa Mahasvara, tidak dapat menandingi satu nada musik dari tujuh baris jajaran pohon ajaib di Sukhavati Loka!”
Tubuh penghuni di Varga Tengah-tengah bagaikan kristal berwarna merah emas yang memancarkan sinar kemerah-emasan pula. Mereka dapat mendatangi setiap Ksetra Buddha melakukan kebaktian kepada Para Buddha di sepuluh penjuru dengan sekejab mata saja. Dan kembali ketempat asalnya dengan sekejab mata pula. Andaikan pada masa hidupnya di dunia fana, tidak berbuat kebajikan, menimbun banyak jasa pahala, tidak mungkin mereka dapat lahir di alam yang sangat indah ini.
Mereka yang memperoleh pahala lahir di Varga Tengah-Tengah, boleh dikatakan delusi mereka hampir tidak ada. Dan selera makan mereka kecil sekali, tidak seperti mereka yang berada di Varga Tengah Bawah, mereka masih sering berkeinginan makan, makanan mereka adalah kue yang terbuat dari madu bunga. Jika meditasi mereka makin meningkat, makin kecil kebutuhan mereka terhadap makanan.
Di Varga Tengah-Tengah terdapat Pusat Pameran Negeri-Negeri Teratai yang memamerkan aneka cara Para Buddha menjalankan pertapaan mereka untuk mencapai ke-Buddha-an.
Gedung pusat pameran tersebut bertingkat-tingkat, setiap tingkat menampilkan riwayat perjuangan salah satu Buddha, mulai dari masa manusianya sampai beliau mencapai ke-Buddha-an. Misalnya di salah satu tingkat yang menampilkan riwayat Sang Buddha Amitabha, mulai dari masa hidupnya di dunia fana Beliau masih bernama Bhiksu Dharmakara dan Beliau berguru pada Lokesvararaja Tathagata.
Saat itu pintu dharma mana yang beliau tekuni, dan Pranidhana apakah yang diikrarkan, semuanya dapat kita lihat dengan mata kepala sendiri peristiwa yang sesungguhnya. Bahkan kita dapat menyaksikan peristiwa-peristiwa sekian ribu kali tumimbal lahir sebelum Beliau mencapai ke-Buddha-an, bila kita inginkan. Jita kita pergi ke lain tingkat kita dapat lihat riwayat hidup Bodhisattva Avalokitesvara (Kuan She Ing Phu Sa) pada setiap tumimbal lahirnya, serta bagaimana perjuangan-Nya untuk mencapai penerangan. Kita dapat menelusuri riwayat Buddha Sakyamuni, Buddha Bhaisajya, Buddha Samanthabhadra, Buddha Manjusri, dan lain sebagainya. Pada pokoknya di pusat pameran tersebut bagaikan ensiklopedi riwayat hidup yang lengkap dan terperinci para Buddha dan Bodhisattva, bahkan serba otomatis dan visualis.
:::
NEGERI TERATAI VARGA ATAS
BILA BUNGA BERKEMBANG MEKAR, BERJUMPALAH DENGAN BUDDHA
Meninggalkan Varga Tengah, kami memanjatkan mantra “Surangama Dharani”, Bunga teratai yang kami kendarai terbang kencang ke atas, badanku terasa makin membesar sampai sebesar ketika bertemu dengan Sang Buddha Amitabha.
Kuan She Ing Phu Sa menjelaskan, “Penghuni Varga Atas Atas pada masa hidupnya di dunia fana, mereka rajin bertapa, tekun menjalankan Sila Vinaja bersih suci bagaikan mutiara putih tanpa noda. Mereka memperdalam Ajaran Buddha, menjauhi/memutuskan Sepuluh Perbuatan Jahat, dan melakukan/mengembangkan Sepuluh Perbuatan Baik, mentaati petunjuk-petunjuk Pintu Dharma yang mereka anut, dan menyelaminya satu demi satu secara lahiriah maupun batiniah maju terus pantang mundur, sepuluh tahun bagaikan sehari, sehingga akhir hayatnya ditambah pula mereka banyak melakukan kebaikan yang terbentuk/nyata, misalnya berdana, menolong orang sakit, miskin, derita, dan lain sebagainya telah menanam banyak jasa pahala. Maka pada saat mereka melepaskan napas terakhirnya, bunga teratainya telah tumbuh dengan subur di Varga Atas dan segera berpenjelmaan teratai di sana.
Mereka yang di Varga Atas boleh dikatakan telah bersih dari polusi duniawi tanpa ternoda oleh delusi karma-karma seperti di Varga Tengah dan Varga Bawah. Mereka telah membersihkan Enam Debu Indra, telah mencapai Alam Bodhisattva, dapat menjelma sesuka hati, dan dapat mempertunjukkan Abbijna (kesaktian) dengan terampil. Para Bodhisattva berkumpul, mereka bisa bermain sesuka hati, ingin menjadi bunga, mereka semua menjadi bunga, menjadi pagoda, batu, pohon dan semuanya menjadi pagoda, batu, dan pohon.
Selanjutnya Kuan She Ing Phu Sa mengajak saya berkunjung ke kolam teratai. Kolam bunga Teratai di Varga Atas, betul-betul istimewa, luar biasa. Tepi-tepi kolam lebih bagus, lebih megah dari yang di Varga lainnya, dikelilingi baris-baris teratai yang segar semerbak di sekitar kolam yang menyejukkan hati. Pagoda-pagoda besar berdiri di tengah-tengah kolam bagaikan gunung menjulang tinggi, pagoda-pagoda tesebut berbentuk poligon memancarkan berjuta-juta sinar aneka warna. Di antara pagoda-pagoda dihubungi dengan jembatan-jembatan yang unik dan cantik sekali. Entah berapa luas kolam tersebut, bagaikan lautan yang tak dapat melihat ujung seberangnya. Di dalam kolam tidak hanya dihiasi berjuta-juta bunga teratai yang indah dan segar, juga dibayangi jutaan pemandangan indah. Di angkasa dipenuhi kanopi-kanopi Ratna yang bertatahkan beraneka macam intan permata berkilau. Setiap kuntum bunga teratai mempunyai mahkota (kelopak) bersap-sap yang tak terhitung banyaknya. Setiap sap mahkota mempunyai bangunan pagoda, teras veranda bertingkat dan lain sebagainya semuanya indah dan megah menakjubkan. Penghuni di sini semuanya berbadan kuning emas kristal, mengenakan baju anggun sekali yang dapat memancarkan sinar beraneka warna.
Tiba-tiba Kuan She Ing Phu Sa berkata, “Di sini ada seorang penghuni Bhiksu Yin Kwang (salah satu dari tiga Bhiksu agung tersohor di Tiongkok pada abad ke-20), apakah anda mengenal Beliau?”
“Di manakah Beliau sekarang? Sudah lama saya dengar nama besarnya, namun belum pernah menjumpainya.” Kujawab dengan spontan.
Seusai perkataanku, segera muncul seorang pemuda berumur sekitar 30 tahun di depan kami, dan sekonyong-konyong beliau berubah menjadi seorang Bhiksu Tua, bentuk asal Bhiksu Yin Kwang ketika di dunia fana. Kami bertemu dengan suasana yang sangat hangat dan gembira, seolah-olah reuni dua sobat lama yang sudah lama berpisah. Kami saling memberi salam hormat dengan beranjali, beramah-tamah mesra akrab sekali. Dengan mempercakapkan masalah-masalah di dunia fana, khususnya mengenai Agama Buddha di Tiongkok. Namun sayang, saya tidak dapat ingat pembicaraanya seutuhnya, ada sebagian telah lupa. Beliau berulang-ulang berpesan “Saya harap sesudah anda pulang ke dunia fana, tolong sampaikan pesanku kepada saudara-saudara se-Dharma, bahwa Sila Vinaya adalah sokoguru, guru sejati bagi para pengamal Dharma, para petapa. Jalankanlah dengan sungguh-sungguh Sila Vinaya, menghayati sutra setiap hari, memanjatkan nama Sang Buddha dengan tulus ikhlas apabila mempunyai waktu luang, selalu mengingat Sang Buddha setiap tindakannya. Sraddha (berkeyakinan) , Pranidhana (berikrar melakukan kebajikan), dan Samsakara (melaksanakan) adalah tiga persyaratan mutlak penting bagaikan tiga mata rantai untuk mencapai penerangan, jika mereka menjalankan 3 persyaratan itu dengan konsekuen, mereka pasti dapat lahir di Sukhavati loka..., janganlah cepat menyombongkan diri setelah memperoleh sedikit kenamaan, mengira dirinya sudah lebih pandai dari orang lain, lalu merubah-rubah Sila Vinaya yang ditentukan Buddha Sakyamuni dan para Sesepuh Agama Buddha dengan sesuka hati. Jaman sekarang banyak orang suka merubah Vinaya dengan dalil ‘pembaharuan’, ’modernisasi’, hanya untuk mencari kepoluleran, hal-hal demikian sungguh menyedihkan!”
Sepanjang perjalanan kami menuju istana besar bertingkat, kami berjumpa beraneka jenis burung yang langka beterbangan dan berkicau di dahan-dahan pohon emas berdaun ‘jade (giok)’. Kicauan burung, panjatan mantra serta nyanyian pujian menjalin menjadi perpaduan suara yang merdu. Di mana-mana ada bunga-bunga bulat yang bertumbuh subur, wewangi bunga segar menyemerbakkan setiap partikel udara, lentera-lentera mutiara, koral, kristal yang beraneka warna berbaris-baris, berjajar-jajar, memancarkan sinar macam-macam warna, sehingga mataku tak keburu menikmati keindahannya.
Di dalam istana dihiasi, didekorasi dengan luar biasa megahnya membuat kami terpukau sejenak. Pilar, dinding, pintu, jendela, lantai, dan langit-langit semuanya menyilaukan warna emas, perak, mutiara, koral, safir, dan lain sebagainya. Setiap benda di dalam aula istana memancarkan sinar sesuai dengan warna masing-masing. Khususnya lantai dan langit-langit memantulkan sinar benda lain menjadi berwarna-warni yang indah semarak. Saya mengikuti Kuan She Ing Phu Sa naik ke tingkat atas, di salah satu ruangan tersimpan banyak jenis cermin kristal dan bermacam-macam bentuk ada yang besar, ada yang yang kecil. Di antara cermin-cermin tersebut terdapat sebuah cermin yang paling unik, paling besar dan menonjol. Kuan She Ing Phu Sa memberitahukan, “Cermin ini lain dari pada yang lain, dapat mencerminkan Jati Diri setiap orang yang berdiri di depannya. Bersih atau tidaknya jati diri seseorang tidak bisa luput dari sorotan tajam dari cermin ini. Dengan kata lain, ternoda atau tidaknya jati diri seseorang akan terlihat jelas di dalam cermin ini.”
Di kedua sisi ruang ini terdapat dua baris kursi yang terbuat dari 7 macam intan manikam yang berkilau-kilau, dan berjajar dengan rapi sekali. Di atas sebuah meja terletak barang aneh yang tak tahu apa gerangan barang itu. Kuan She Ing Phu Sa seolah-olah tahu saya sedang lapar dan menawarkan, “Laparkah Anda?” “Ya, tetapi disini ada apa yang dapat dimakan?” saya jawab dengan spontan, karena saya betul-betul sudah lapar.” Makanan disini sama dengan apa yang ada di Varga Bawah dan Varga Tengah. Apa yang anda sedang inginkan akan segera tersajikan (secara otomatis) !” kata Kuan She Ing Phu Sa. [NOTE.7] “Bagus sekali, saya minta nasi putih dan sup sayur putih saja, lain tidak!” perkataanku belum selesai, hidangan nasi putih dan sup sayur putih telah terletak di atas meja. Saya menawarkan kepada Beliau, “Mari kita makan bersama-sama!” Beliau menjawab, “Kami disini (penghuni Varga Atas), pada umumnya, tidak makan, silahkan anda makan sendirian.”
Kebanyakan penghuni Varga Atas Atas, mereka telah mencapai ke-Bodhisattva-an, dan telah berkurang sekali gairah makannya, atau sama sekali tidak ada nafsu makan. Karena mereka sudah tanpa delusi, sudah bersih dari kebiasaan duniawi. Membandingkan diri dengan mereka, saya merasa malu, namun saya tetap makan sampai kenyang. Selesai makan saya letakkan mangkok dan sumpit di atas meja, dengan sekejap mata mangkok, piring, sendok, dan sumpit semuanya hilang tanpa bekas. Saya ternganga melihat kejadian tersebut “Mengapa Demikiran?” tanyaku.
Kuan She Ing Phu Sa menjelaskan, “Hal ini disebabkan delusi hidup sehari-harimu di dunia fana membuat anda merasa lapar dan ingin makan. Dan seperti anda sedang bermimpi merasa peristiwa itu serba nyata dan ada sungguh-sungguh, kemudian anda bangun dari mimpi dengan segera semuanya lenyap tanpa bekas. Waktu anda berangan-angan makan, maka makanan segera datang. Sesudah kenyang, angan-anganmu terhadap makanan hilang, maka semua makanan serta alat-alatnya ikut hilang juga!”
:::
Saya mengangguk-anggukkan kepalaku menyatakan telah mengerti. Beliau menegaskan pula, “Jika jati dirimu bersih, tentu tidak ingin makan, tidak ingin sesatu yang duniawi. Seperti ruang hampa tanpa sesuatu. Jika angan-angan timbul bagaikan angkasa kosong bersih mulai berkabut dan bermega. Renungkanlah perumpamaan ini, lambat laun anda akan mengerti dan akan bermanfaat bagi anda mencapai penerangan.”
Mereka yang lahir di Varga Atas-Atas telah meninggalkan semua delusi karma di dunia fana, telah mencapai pahala ke-Bodhisattvaan yang tidak akan mundur lagi. Apa yang mereka sekarang mengalami adalah alam hakiki. Dengan selintas saja, mereka atas bantuan kekuatan Purva-Parinidhana Sang Amitabha dapat memperoleh bunga-bunga indah, buah-buahan segar, dan sesajian yang lain menurut keikhlasan hatinya untuk dipersembahkan kepada Para Buddha di sepuluh penjuru. Jika pada saat khotbah tiba, dengan serentak, beribu-ribu juta Bodhisattva hadir di Aula, ada yang duduk di atas bunga teratai, ada di ruang atas aula istana, ada yang di beranda, di pagoda, di atas pohon yang tujuh baris berjajar-jajar, mereka mendengarkan Buddha Amitaba berkotbah, tanpa ada satu yang meninggalkan tempat mereka.
Saya bertanya kepada Kuan She Ing Phu Sa, “Mereka yang lahir di Sukhavati Loka pasti banyak berasal dari dunia fana (Saha Loka), mengapa saya tidak melihat mereka bersama dengan sanak keluarganya?”
Beliau menjelaskan , “Dalam sekeluarga jarang terdapat dua orang atau lebih yang bersamaan lahir di Sukhavati Loka, karena tingkat kesadaran mereka berbeda masing-masing. Orang dunia fana kebanyakan terselubung oleh delusi karma atau polusi yang tebal sekali, sehingga mereka sangat sulit melihat keadaan yang hakiki/sejati. Jika mereka memusatkan pikirannya, rajin menyebut, mengingat, nama Sang Buddha dengan ikhlas, maka delusi/polusi mereka akan kurang atau bersih, dan hati mereka akan bersih tanpa noda bagaikan angkasa terang hampa, dengan demikian mereka yang di dunia fana juga dapat melihat Sukhavati loka dengan jelas.”
Dengan kesempatan ini, saya mohon petunjuk Beliau, “Cara bagaimanakah yang paling baik dan tepat guna untuk memanjatkan mantra dan doa?”
“Bertapa (pembersihan karma buruk/ delusi) dan Samadhi harus dilakukan berdampingan. Yaitu disamping menyebut/mengingat Buddha, kita harus selalu mengintrospeksi diri, inilah yang disebut “Dhyana Tanah Suci.”
“Tolong jelaskan bagaimana cara melakukan Dhyana Tanah Suci tersebut.” mohonku.
Demikian petunjuk Beliau, “Siswa-siswa yang melakukan kebaktian bersama boleh dibagi menjadi dua kelompok (menurut tata cara sekte Liturgi/Tanah Suci). Kelompok A dan kelompok B bergilir memanjatkan mantra dan doa. Misalkan sesudah Kelompok A memanjatkan kalimat 'Namo Amitahaya' dua kali, kemudian kelompok B meneruskan dua kali. Dan kelompok A yang sedang menunggu giliran mendengar dengan seksama, melafalkan, dan menghayati dalam hati. Sebaliknya bila Kelompok B sedang menunggu giliran juga melakukan hal yang sama, Dengan demikian memperoleh dua manfaat, kesatu dapat mengurangi kelelahan, kedua suara mantra berkumandang terus tanpa terputus-putus. Lagi pula pendengaran telinga kita akan dilatih menjadi lebih peka, telinga kita mendengar, sama dengan hati kita ikut membaca, menghayati. Melakukan pembersihan karma ucapan, sekaligus pembersihan karma pikiran, lambat laun jati diri/sifat ke-Buddha-an kita akan timbul. Hening akan melahirkan ketenangan, dan ketenangan akan melahirkan kebijaksanaan.”
“Waktu tidak banyak lagi, mari kita ke Pagoda Amitabha/Pagoda Teratai.” desak Kuan She Ing Phu Sa.
Kita terbang melewati beberapa bangunan bertingkat, dan beberapa pucuk lancip pagoda. Tak lama kemudian, kita telah tiba di kaki sebuah pagoda raksasa yang luar bisasa besarnya, berdiri dengan perkasa di depan kita, bagaikan gunung Kun Lun di Tiongkok yang tinggi dan besar. Pagoda ini entah ada beberapa ribu tingkat (diperkirakan paling sedikit ada beberapa puluh ribu tingkat), dan berbentuk poligon yang entah ada berapa sudut/ sisinya, seluruh pagoda tembus cahaya bagaikan kristal berwarna kuning emas yang memancarkan berjuta sinar cahaya emas. Dari dalam pagoda tersiar suara redup nyanyian 'Namo Amitabha'. Dua bait dari awal seolah-olah memohon pertolongannya, dan bait yang kedua dengan suara lantang dan semangat, namun intim dan penuh kasih sayang.
Pagoda Teratai tersebut adalah tempat tamasya (bermain) khusus bagi beribu juta penghuni Varga Atas Tengah. Pagodanya sangat besar, besarnya tidak dapat dibayangkan oleh orang bumi, katanya ada beberapa ribu kali besar dari bumi, maka tingginya juga tidak dapat dibayangkan. Di dalam pagoda terdapat macam-macam istana, masing-masing mempunyai warna tersendiri dan memancarkan sinar sesuai dengan warna masing-masing, semuanya tembus cahaya. Penghuni Varga Atas Tengah yang bertamasya ke sini dapat menerobos dinding dengan bebas keluar masuk istana, tanpa sedikit hampatan pun. Naik turun lantai tingkatan pun mereka menereobos lantai dengan sebebas-bebasnya. Mereka dapat bergerak sesuka hatinya, hati ingin naik segera naik, hati ingin turun ke bawah, segera turun ke bawah. Niat hati mereka yang memegang kendali segala gerak-geriknya. Asal ada selintas angan-angan di hati mereka, mereka segera mencapai pada tujuan walaupun tempatnya jauh tak terbayangkan. Di dalam pagoda teratai boleh dikata serba ada, serba lengkap. Di sana kita dapat memantau seluruh Dharma Dhatu, termasuk Padma Ksetra (Negeri-negeri Buddha), serta keadaan, tata hidup makhluk-makhluk yang menghuni di alam masing-masing. Pemandangan setiap Padma Ksetra yang unik dan super mengagumkan, sungguh tidak dapat dilukiskan dengan kata dan tulisan bahkan hanya sepersepuluh ribu bagian saja. Penghuni di Varga Atas Tengah bila ingin berkunjung ke salah satu Padma Ksetra dari berjuta miliar banyaknya, yang jaraknya sampai jutaan cahaya tahun, hanya dalam sekejab mata saja sudah sampai pada tujuan yang diinginkan.
Memasuki Pagoda Teratai, kita seolah-olah naik lift dapat naik ke atas dengan sendirinya setingkat demi setingkat, kita menerobosi setiap lantai kristal tanpa halangan apapun. Terlihat setiap lantai ada banyak orang sedang rajin menyebut nama Buddha, semuanya laki-laki berumur sekitar 30 tahun. Para penghuni di setiap tingkat mengenakan seragam lain daripada yang lain, kami kira-kira menjumpai lebih dari 20 macam warna seragam yang berbeda-beda. Namun tidak menjumpai seorang perempuan pun. (NOTE.8) Semua laki-laki duduk tegak di atas alas teratai memanjatkan doa.
Kuan She Ing Phu Sa berkata, “Jadwal hidup sehari-hari di sini dibagi 6 waktu, 2 waktu untuk membaca sutra dan memanjatkan sutra dan mantra, 2 waktu untuk meditasi, 2 waktu lagi untuk istirahat, saat ini adalah waktu belajar, menjalankan kebaktian.”
Kami memasuki satu ruangan yang berada di salah satu tingkat di pertengahan pagoda Teratai. Terlihat mereka duduk berjajar terbagi dua kelompok, masing-masing kelompok mengambil tempat salah satu sisi dari dua sisi ruangan tersebut. Kelompok A dan Kelompok B duduk berhadapan. Mereka membaca Sutra diiringi dengan suara genta genderang, ketukan, dan lain-lain, namun tidak terlihat alat musik sepotongpun. Mereka duduk diatas alas yang sangat indah sekali, dipimpin oleh seorang Bodhisattva yang duduk di tengah-tengah mereka. Mereka yang membaca dengan baik, di sekitar bagian kepalanya memancarkan Candra Prabu (sinar bulan) yang terang benderang, dan setiap utas sinar menjelma menjadi seorang Buddha, sehingga di sekelilingnya dikitari bayangan Buddha-Buddha yang tak terhitung banyaknya. Seperti sinar emas Candra Prabu Sang Buddha Amithaba beterbangan mengitari aula dan pucuk lancip pagoda, berkicauan, menyanyi mengiringi suara mantra dan doa dengan merdu dan serasi sekali. Di aula dan pagoda dihiasi lampu mutiara, lampu kristal beraneka ragam, dan warna semuanya memancarkan sinar indah yang menyenangkan. Diantaranya ada sejenis lentera bulat dapat berubah-rubah bentuk dan warnanya. Pendek kata tak habis-habis diceritakan dan tak ada kata yang cocok untuk melukiskan. Acara puja bhakti diselenggarakan di sini, karena di sini kita dapat melihat dengan jelas seluruh alam semesta, baik makhluk-makhluk di tiga alam derita, dunia fana, dewa-dewi yang riang gembira di alam Dewa, maupun Para Buddha di Buddha ksetra yang berjuta-juta banyaknya. Pemandangan yang menakjubkan satu demi satu tampil di depan kita.
PETUNJUK DARI BUDDHA AMITABHA
Sesudah melewati 3 Varga (9 tingkat) Sukhavati Loka, kami menghadap Sang Buddha Amithaba. Saya segera bernamaskara kepada Sang Amithaba 3 kali, selanjutnya saya mohon petunjuknya dengan ikhlas.
Beliau bersabda, sekata demi sekata, dengan seksama dan serius, “Sesungguhnya, sifat ke-Buddhaan terkandung pada setiap makhluk, tanpa perkecualian baik yang tinggi maupun rendah derajatnya. Oleh karena Avidya (kegelapan) maka pandangan mereka terbalik, dan kesadaran tersesat, yang palsu dianggap benar, yang khayal dianggap nyata. Maka tertaburlah bibit yang buruk, bibit menghasilkan buah, buah mengandung bibit baru, lahir mati, mati lahir membentuk siklus delusi (samsara) berputar tiada henti-hentinya. Sedih-pedih, derita dan sengsara menyiksa mereka silih berganti. Dengan 48 Purva Pranidhana, saya telah berikrar akan menolong mereka di alam sengsara tanpa terkecuali. Kepada mereka yang betul-betul dapat menunaikan tiga persyaratan, yaitu: Sin (Sradha/keyakinan), Yuen (Pranidhana/tekad), Sing (Smskara/ jalani). Dengan melatih diri untuk bertindak, mengucap dan berpikir dengan konsekuen dari saat ke saat, sampai akhir hayat mereka, mereka cukup mengucapkan sepuluh panjatan 'Namo Amitabhaya' dengan konsentrasi dan penuh ikhlas, mereka pasti akan terlahir di Sukhavati Loka.”
Saya bernamaskara kepada Beliau, memohon melanjutkan petunjuk Beliau. Beliau melanjutkan:
“Pertama, anda mempunyai hubungan erat dengan dunia fana, maka anda berkewajiban menyeberangkan Ayah Bunda, saudara-saudara, famili, dan teman sahabat anda yang sekarang dan beberapa puluh tumimbal lahir yang lampau. Anda ditugaskan mengajari mereka tentang 'Dhyana Tanah Suci (Sukhavati Loka)', dan mengajari mereka betul-betul untuk mentaati sila Vinaya.”
“Kedua, anda diharapkan menjaga kerukunan antar agama, apalagi antar mazhab-mazhab/ sekte-sekte seagama. Mempererat kerjasama antar agama dan antar sekte. Antar umat berlainan agama atau sekte jangan saling membenci, merongrong, dan memfitnah, jangan selalu menganggap dirinya murni, dan orang lain tidak, memandang diri besar, orang lain kecil, dirinya tinggi orang lain rendah. Jangan suka mengorek-ngorek kesalahan/kelemahan orang. Hal-hal demikian tidak dibenarkan. Buddha Dharma maha luas tiada batasnya, mempunyai 84.000 pintu Dharma, dan setiap pintu Dharma mempunyai aspek kebenarannya, dan aspek positifnya. Mereka yang menekuni dan mentaati ajaran dari salah satu pintu dharma pasti akan membimbing dari arah yang sesat ke arah yang benar/tepat, yang negatif dapat dirubah menjadi positif, Sang Mara jika sudah sadar akan menjadi Buddha. Yang cita-citanya kecil/kerdil dapat berubah menjadi cita-cita agung luhur. Antar agama atau sekte harus saling bertoleransi, saling membantu, saling mencintai, meluruskan apa yang bengkok, menegakkan apa yang miring, pada hakekatnya, hal tersebut adalah misi luhur dari umat Buddha dan kebijaksanaan umat Buddha.”
Setelah berhenti sejenak Beliau bersabda lagi, “Baiklah, sekarang anda boleh pulang.”
Berulang-ulang saya bernamaskara kepada Amitabha Buddha menyampaikan rasa terima kasihku sedalam-dalamnya.
Sepanjang perjalanan pulang, dua kuntum bunga teratai di atas kedua kakiku membawa saya terbang dengan cepat, sebentar saja 'Pintu alam dewa selatan' telah kutinggalkan, dan tiba di Istana Arahat Langit Tengah. Saya berhenti memanjatkan mantra, dan dengan sekejab teratai di bawah kaki lenyap. Seorang bocah menyuguhi kami secangkir air putih, saya segera habiskan air tersebut. Lalu seorang biarawan menunjukkan kepada saya sebuah kamar agar saya istirahat, entah mulai kapan saya tertidur pulas.
Kembali ke dunia fana, di Goa Maitreya di Gunung 9 Dewa
Saat saya terbangun semua pagoda, kuil, teras, istana, para suci, para Bodhisattva, dan Buddha, semuanya hilang tanpa bekas. Menurut ingatanku perjalananku pergi dan kembali dari Sukhavati Loka hanya sekitar 20 jam. Pemandangan dan peristiwa yang memukau masih seperti baru dan sangat jelas di depan mata. Saat ini bukanlah saya di dalam istana megah yang memancarkan sinar emas, melainkan saya di kelilingi gelap gulita. Walaupun saya telah mengangkat tanganku di depan mata, saya tidak dapat melihat lima jariku. Saya merasa duduk sendirian di sebuah batu. Tak lama kemudian fajar menyingsing. Sinar surya menembus awan di tepi langit, keadaan badan saya telah pulih seperti sedia kala.
Saya bernamaskara selama dua hari dua malam, berteriak, melompat-lompat, menangis, namun tanpa sedikitpun jawaban dari luar.
Selangkah demi selangkah saya turun dari gunung, kira-kira telah berjalan 10 kilometer, sampai pada jalan Je Sue (air Merah), terlihat banyak pejalan kaki lalu lalang. Saya bertanya kepada salah seorang yang lewat, dan terperanjat oleh jawabannya. “Hari ini tanggal 8 Mei 1973.” Dihitung mulai tahun 1967, saya meninggalkan dunia fana sampai dengan pulang kembali ditempuh lebih dari 6 tahun 5 bulan lamanya.
Mereka yang insaf akan kebenaran adalah Bodhisattva.
Mereka yang sesat di keduniawian adalah manusia biasa,
Yang beruntung mendengar Ajaran Kebenaran Sang Buddha,
Bertalian erat dengan sebab masa-masa yang lampau.
Hanya yang berjodoh dengan Sang Buddha dapat diseberangkan.
Mewariskan cita-cita luhur Master Si Yin yang karuna,
Kami berikrar menyebarkan Buddha Dharma
Ke setiap pelosok di Dunia Saha.
Kami bertekad menyeberangkan mereka yang membutuhkan bantuan
Dari alam sengsara ke pantai bahagia
Semoga semua jasa pahala kami,
Dilimpahkan kepada setiap makhluk yang menderita,
Agar mereka bersama-sama kami,
Semuanya mencapai ke-Buddha-an.
-- The End --
__________________
Negeri-Buddha yang satu terbuat dari tujuh permata, negeri-Buddha yang lain seluruhnya penuh dengan bunga teratai; negeri-Buddha yang satu seperti istana dewa Mahesvara, negeri-Buddha yang lain menyerupai cermin kristal, di mana berbagai negeri-buddha di sepuluh penjuru terpantulkan di sana.
(Amitayur Dyana Sutra)
Sumber artikel: http://www.wihara.com/forum/showthread.php?t=1125
NOTES:
0. Sebagai pelengkap bacaan silahkan membaca “Amitabha Sutra” di http://groups.yahoo.com/group/parasohib/message/666
“Berdasarkan apa yang disebut Sang Buddha dalam Amitabha Sutra, “... Tujuh susun jala, tujuh baris jajaran pohon mustika...” adalah pemandangan alam ini.” (NOTE.0)
Telingaku mendengar banyak suara percakapan, tetapi saya tidak mengerti semuanya. “Amitabha Buddha mengerti semuanya..” kata Bhiksu Yen Kwan. Di perjalanan saya jumpai banyak pagoda-pagoda tinggi yang terbuat dari 7 jenis mustika, bersinar samar-samar. Kami berjalan maju terus, akhirnya tiba di depan sebuah gunung emas yang luar biasa besarnya, entah berapa ribu kali lebih besar dari Gunung Oh Mei di Tiongkok.
Kutipan dari buku Zhuan Falun:
dalam agama Buddha ada sebuah buku kecil yang berjudul “Kisah Perjalanan ke Barat menuju Dunia Sukhavati”, dikisahkan ada seorang biksu bermeditasi berlatih Gong, ketika Yuanshen (jiwa prima)-nya sampai di Dunia Sukhavati telah dapat melihat pemandangan di tempat itu, setelah berputar-putar satu hari, sekembalinya ke dunia manusia enam tahun telah berlalu. Apakah dia sudah melihat? Sudah melihat, namun yang terlihat bukan wujud yang sejati. Mengapa demikian? Karena tingkatnya kurang, jadi manifestasi Fa Buddha hanya boleh diperlihatkan padanya sesuai dengan keberadaan tingkatnya, karena dunia semacam itu adalah manifestasi dari struktur Fa, jadi dia belum dapat melihat wajah yang asli. Menurut saya, tidak ada Dharma yang definitif adalah bermakna semacam ini.
1. Beda waktu
, menurut perasaanku kurang lebih 20 jam. Tetapi sesungguhnya mulai dari saya meninggalkan dunia sampai dengan saya kembali di dunia ini adalah selama lebih dari 6 tahun 5 bulan. (NOTE.1)
kutipan kisah: “Menyelinap ke Berbagai Dimensi, buku Petugas Survey Dunia Roh, kisah ke-22
<< Sewaktu saya membaca buku buku klasik, saya juga pernah menemukan kisah kisah "penyelinapan ke dimensi lain". Salah satunya adalah sebagai berikut:
Ada seorang pria bernama Si An yang pergi mendaki gunung untuk pesiar. Saat itu ada kabut tebal di atas gunung yang membuat segala sesuatu terlihat kabur. Setelah mendaki lebih tinggi lagi, Si An tiba tiba mendapatkan bahwa pemandangan telah berubah total. Apa yang dilihatnya sungguh bukan dunia manusia. Ada banyak bunga unik dan tanaman aneh yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya. Kemudian, ia melihat sebuah pohon besar yang tingginya beberapa meter, dengan bunga bunga merah di seluruh cabang dan ranting pohon. Putik putik bunga bunga itu semuanya putih mengkilap seperti mutiara. la memetik salah satunya. Kagetnya, ternyata itu benar benar mutiara. Kemudian, ia melihat jauh di bawah lembah yang ditutupi awan tipis yang mengambang -- ada semacam sinar yang berkelap kelip. la berjalan kesana dan mendapatkan ada 2 kakek sedang main catur. Si kakek melihat Si An datang namun tidak menyapa sama sekali. Kedua kakek itu terus berkonsentrasi pada permainan catur. Si An berdiri disamping mereka, menonton. Sewaktu permainan catur selesai, si kakek bertanya kepada Si An, "Kamu berasal dari mana?", Si An menjawab, "Saya tersesat sampai kesini."
Si kakek berkata, "Ini bukan dunia manusia. Kau lebih baik tidak tinggal disini lebih lama lagi. Saya akan kirim kau kembali ke dunia mu."
Kedua kakek itu membawa Si An ke sebuah tempat. Si An merasakan awan awan berkumpul di kaki nya yang mengangkatnya ke atas dan mendaratkannya di sebuah tanah datar yang ternyata merupakan jalan keluar dari gunung itu. (… berlanjut di bawah…}
2. Memasuki alam yang berbeda
kutipan kisah: “Menyelinap ke Berbagai Dimensi, buku Petugas Survey Dunia Roh, kisah ke-22
{..lanjutan..} Sewaktu Si An tiba di rumah nya, istri nya kaget. Si An juga sama kagetnya. Sewaktu Si An meninggalkan rumah, istri nya masih berusia 20an, tapi sekarang istrinya sudah berusia 70an, sudah menjadi nenek tua. Sebaliknya, Si An masih terlihat muda seperti biasa di usia 30an. Keduanya menangis.
Si istri berkata, "Kau pergi mendaki gunung, tapi tidak kembali selama 50 tahun. Semua orang bilang kau sudah mati."
Si An mengeluarkan mutiara dari kantong baju nya. Mutiara itu sungguh besar, bersinar terang sekali. Sungguh tak dapat ditemukan di dunia ini.
Akhirnya, Si-An sadar bahwa ia telah terselip ke dunia para dewa. Ke 2 kakek itu sesungguhnya adalah dewa dewa. Semenjak saat itu, Si-An mencoba mendaki gunung itu berulang kali, namun betapapun ia berusaha keras, ia tidak dapat menemukan tempat yang pernah ia kunjungi itu.>>
3. Kehidupan alam Dewa
“Orang di Alam Dewa hidup mewah dan santai. Mereka tidak suka kerja keras, jarang melakukan kebaktian, tidak suka mempelajari Dharma, seperti orang kaya di Bumi, lupa sembahyang, lupa melakukan kebaikan, apalagi bertapa menjadi biarawan. Mereka hanya tahu bersuka ria menikmati kesenangan pada saat makmur sekarang. [NOTE.3] Mereka lupa mereka masih belum lepas dari Triloka.
*Kutipan dari buku Zhuan Falun: {{jiwa manusia selayaknya untuk balik kembali, sebaliknya tidak layak tetap berada di tengah manusia biasa. Seandainya umat manusia tidak punya penyakit apa pun, dapat hidup dengan menyenangkan, lalu sekiranya diminta menjadi dewa, anda pun tidak akan mau. Bila tidak ada penyakit, tidak ada penderitaan juga, ingin apa pun selalu ada, alangkah indahnya, benar-benar sebuah surga dewata.}}
*Kutipan dari buku Zhuan Falun: {{Pada aliran Buddha, yang dimaksud dalam perkataan menyelamatkan segala makhluk hidup secara universal adalah mengangkat anda dari kondisi manusia biasa yang paling menderita, dibawa naik ke tingkat tinggi, sehingga selamanya tidak akan menderita lagi, dan telah lepas bebas, inilah maksud ajaran-Nya itu. Bukankah Sakyamuni juga menyebut Nirvana di seberang sana? Ini sebenarnya yang Dia maksud dengan menyelamatkan segala makhluk hidup secara universal. Misalnya anda sudah menikmati kebahagiaan di tengah manusia biasa, memiliki berlimpah uang, tempat tidur anda di rumah pun beralaskan uang, tidak punya kesusahan apa pun, maka seandainya diminta untuk menjadi dewa anda pun tidak akan mau. Selaku seorang praktisi Xiulian, jalan hidup anda dapat diubah, juga hanya dengan Xiulian barulah dapat diubah.}}
4. x
Tidak ragu lagi, kami telah tiba di pusat Sukhavati Loka. Tiba-tiba Bhiksu Yen Kwan menunjuk ke depan dan berkata, “Kita sudah tiba, di depanmu adalah Amitabha Buddha, Lihatlah Anda!” Saya bertanya dengan heran, “Di mana? Saya hanya melihat sesosok tembok besar di hadapan saya.”
Sekarang engkau sedang berdiri di pucuk ujung jari kaki Buddha Amitabha!” Jawaban Bhiksu Yen Kwan yang tak terduga, sangat mengejutkan saya. (NOTE.4)Saya memohon, “Badan sang Buddha begitu besar dan tinggi, apa mungkin saya dapat melihat Beliau?”
Sesungguhnya, keadaanku sekarang seperti seekor semut kecil, berdiri di bawah pencakar langit Gedung Empire Amerika. Biar bagaimanapun saya mendongak kepalaku tak mungkin bisa melihat seluruh gedung pencakar langit itu.
Bhiksu Yen Kwan menganjurkan saya cepat berlutut dan memohon berkah dari Sang Buddha Amitabha. Dengan tulus dan ikhlas saya mohon berkali-kali, tiba-tiba badan saya terus berkembang menjadi besar, sehingga sampai setinggi pusar Beliau.
Dengan ketinggian badan saat itu, barulah saya dapat melihat sang Buddha Amitabha sesungguhnya, betul-betul Beliau berada di depan mata saya Beliau berdiri di sebuah singgasana teratai, entah berapa jumlah kelopaknya, bersusun bertingkat-tingkat. Setiap kelopak mempunyai sebuah alam tersendiri, ada istana, pagoda, dan lain-lainnya memancarkan sinar beribu-ribu warna. Dan setiap utas cahaya menjelma seorang Buddha duduk di tengah lingkaran cahaya emas.
5. Daqoiq-ul Akbar ; rambut malaikat Mikail yang dapat menyerap semua air sesamudera
Pada saat ini, Bhiksu Yen Kwan telah kembali ke bentuk semula-Nya, Kwan Se Ing Phu Sa. Seluruh badan beliau tembus pandang, berwarna keemasan, jubahnya memancarkan beribu-ribu jenis cahaya, tidak jelas Beliau laki-laki atau perempuan. Tinggi badan Beliau saat ini lebih tinggi dari saya, kira-kira setinggi pundak Sang Buddha Amitabha.
Saya berdiri ternganga melihat peristiwa yang unik dan luar biasa ini, tercengang dan berbisu seribu kata. Jika saya diharuskan melukiskan atau menceritakan keadaan saat itu dengan terinci, mungkin membutuhkan waktu 7 hari 7 malam lamanya. Khusus melukiskkan tanda fisik Sang Buddha Amitabha yang sangat istimewa dan ajaib saja waktu setengah hari tidak akan cukup. Misalnya, mata Beliau yang seluas tujuh samudra di bumi kita. (NOTE.5)
6. Pada alam yang berbeda Sutta yang sama namun berbeda kalimat2nya
Setelah saya mendengar kata-kata yang Beliau kutip dari Sutra Sad Dharma Pundarika berbeda dengan Sutra Sad Dharma Pundarika Sutra yang saya baca di dunia fana, [NOTE.6] saya lalu bertanya kepada Kuan She Ing Phu Sa mengenai keraguanku. Beliau menjelaskan, “Sutra Sad Dharma Pundarika sutra di bumi mienggunakan kata-kata dan contoh-contoh yang mudah dimengerti oleh orang di bumi, sedangkan sutra Sad Dharma Pundarika di sini lebih mendalam, namun bagi penghuni Sukhavati Loka yang pengetahuannya lebih luas malahan lebih mudah dipahami. Biarpun penggunaan kata-kata berbeda-beda, namun arti yang terkandung sama. Hal ini sama dengan Alam Dewa yang tidak mengerti Alam Arahat, Arahat tidak mengerti Alam Bodhisattva, dan Bodhisattva tidak memahami alam Buddha.
7. Di alam suci, apa yang dikehendaki semua tersedia; semuanya adalah ilusi belaka
Makanan disini sama dengan apa yang ada di Varga Bawah dan Varga Tengah. Apa yang anda sedang inginkan akan segera tersajikan (secara otomatis) !” kata Kuan She Ing Phu Sa. [NOTE.7] “Bagus sekali, saya minta nasi putih dan sup sayur putih saja, lain tidak!” perkataanku belum selesai, hidangan nasi putih dan sup sayur putih telah terletak di atas meja
Saya menawarkan kepada Beliau, “Mari kita makan bersama-sama!” Beliau menjawab, “Kami disini (penghuni Varga Atas), pada umumnya, tidak makan, silahkan anda makan sendirian.”
Kebanyakan penghuni Varga Atas Atas, mereka telah mencapai ke-Bodhisattva-an, dan telah berkurang sekali gairah makannya, atau sama sekali tidak ada nafsu makan. Karena mereka sudah tanpa delusi, sudah bersih dari kebiasaan duniawi. Membandingkan diri dengan mereka, saya merasa malu, namun saya tetap makan sampai kenyang. Selesai makan saya letakkan mangkok dan sumpit di atas meja, dengan sekejap mata mangkok, piring, sendok, dan sumpit semuanya hilang tanpa bekas. Saya ternganga melihat kejadian tersebut “Mengapa Demikiran?” tanyaku.
Kuan She Ing Phu Sa menjelaskan, “Hal ini disebabkan delusi hidup sehari-harimu di dunia fana membuat anda merasa lapar dan ingin makan. Dan seperti anda sedang bermimpi merasa peristiwa itu serba nyata dan ada sungguh-sungguh, kemudian anda bangun dari mimpi dengan segera semuanya lenyap tanpa bekas. Waktu anda berangan-angan makan, maka makanan segera datang. Sesudah kenyang, angan-anganmu terhadap makanan hilang, maka semua makanan serta alat-alatnya ikut hilang juga!”
Saya mengangguk-anggukkan kepalaku menyatakan telah mengerti. Beliau menegaskan pula, “Jika jati dirimu bersih, tentu tidak ingin makan, tidak ingin sesatu yang duniawi. Seperti ruang hampa tanpa sesuatu. Jika angan-angan timbul bagaikan angkasa kosong bersih mulai berkabut dan bermega. Renungkanlah perumpamaan ini, lambat laun anda akan mengerti dan akan bermanfaat bagi anda mencapai penerangan.”
8. Semua penghuninya laki-laki
Para penghuni di setiap tingkat mengenakan seragam lain daripada yang lain, kami kira-kira menjumpai lebih dari 20 macam warna seragam yang berbeda-beda. Namun tidak menjumpai seorang perempuan pun. (NOTE.8) Semua laki-laki duduk tegak di atas alas teratai memanjatkan doa.
referensi:
Sent: Tuesday, January 06, 2009 11:51 AM
Subject: [parasohib] Kisah Perjalanan Ke Surga Sukhavati - [2/2]
http://groups.yahoo.com/group/parasohib/message/663
Didownload pada Selasa Wage, 6 Jan 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar