Dikutip dari grup FB Mudita Center 喜来寺, posting tgl 16-Jul-2013
Amithofo atau Emithuofo?
Namo Sakyamuni Buddhaya
Namo Amitabha Tathagataya
Tanya:
Amithofo sami, saya ingin bertanya, bagaimana pendapat sami mengenai artikel yang menyatakan bahwa pelafalan Amithofo atau Amitabha berdasar ejaan bahasa Indonesia adalah suatu kesalahan, harusnya dibaca "E", bukan "A" ?
Jawab:
Salam hangat sahabat,
Penulis tentu merupakan seorang terpelajar dan peduli pada perkembangan dan kesejahteraan umat Buddha. Bila tidak, tentu ia tidak akan berlelah mencari dan mengetik informasi yang sedemikian detilnya.
Dapat kita katakan tidak ada kesalahan signifikan dalam penyampaian beliau, selain pada metode penyampaian yang mungkin, kembali lagi, karena semata-mata tidak diketahui akibatnya, telah menyebabkan buah karma buruk yang cukup beratlah yang tertuai.
Mengapa?
Buddha bukanlah manusia atau makhluk, melainkan pelampauan makhluk, sehingga, "Ia" bukanlah seorang guru bahasa yang kaku, walau bukan berarti bisa sekenanya saja. Banyak yang tetap terlahir ke Sukhavati walaupun membaca Amitabha atau Amithofo atau bahkan Amitofo, atau Amitohut, atau Amida butsu.
Mengapa?
Karena esensi dari nama seorang Buddha, adalah pada perenungan kualitas baik dari Buddha tersebut (Buddhanussati), namaNya hanyalah sebatas "pengantar" kita agar dapat senantiasa mengingat dan merenungkan kualitas2Nya, membantu kita melarutkan kualitas-kualitasNya dalam kehidupan kita dengan terus melafalkan namaNya seiring beraktivitas.
Nama Buddha bukanlah Mantra, Mantra, menekankan pada bunyi, nama Buddha menekankan pada makna dan arti yang mendalam. Sehingga, Amitabha, dapat juga dibaca sebagai Wuliang Shou Fo, Buddha Usia Tanpa Batas, atau Buddha Cahaya Tanpa Batas. Hanya saja karena alasan kesederhanaan, kita tetap menggunakan 4 suku kata, Amitabha atau Amithofo.
Tentu saja, karenanya tidak ada masalah berlebihan dari perbedaan cara pengucapan, yang penting adalah tingkat ketulusan dan kemurnian niat.
Dengan memahami ini, adalah tidak perlu muncul sedikitpun kebingungan dan keraguan pada sahabat seDharma yang telah melafalkan Amitohut, atau Amitofo sehari-hari.
Adalah benar bahwa artikel tersebut mungkin ditulis seorang yang cukup berpendidikan atau pintar, diukur secara pengetahuan duniawi yang baru berusia kurang dari 10.000 tahun. Namun, esensi Buddha Dharma yang telah berusia berkalpa-kalpa (1 kalpa kurang lebih 10^140 tahun), tidak mampu terwakilkan dengan baik dalam tulisan yang hanya dilihat dari sudut pandang kebenaran tekstual semata.
Sehingga, bila ditanya, sami hanya bisa menyatakan, tidak masalah Amithofo, Emithofo, Amithuofo, Emithuofo, Amitabha, Amida Buddha, Amita Buddha, Emitabha, Emida Buddha, Emita Buddha, Amitofut, Amithohut, yang anda baca, selama pikiran adalah ditekadkan pada keagungan dan 48 Maha Ikrar Buddha di Sukhavati, tidak ada masalah.
Intinya, yang mampu menghalangi kita untuk terlahir di Sukhavati, di hadapan Buddha Amitabha, adalah keraguan dan karma buruk. Bukan lafal "A" atau "E". Asalkan tulus, lafal Amitofo pun akan mengantar kita pada pencapaian Sukhavati setelah maupun dalam kehidupan ini juga.
Sekali lagi, sahabat, penulis dan penyebar informasi sama sekali tidak menyampaikan hal yang salah, mereka menyampaikan hal yang benar walaupun patut dikasihani telah tanpa sadar menyebabkan karma buruk yang berat dari apa yang telah dilakukan.
Mengapa?
Karena salah satu dari tiga penyebab perbuatan buruk (lobha, dosa, moha) adalah moha, ketidaktahuan, yang merujuk pada tidak dimilikinya pengetahuan yang menyeluruh, namun menyatakan hal yang tidak menyeluruh tersebut seolah menyeluruh.
Dari penyampaian seperti itu, tanpa sadar penulis blog ini dan penyebar informasi telah menyebabkan keraguan muncul dengan signifikan di kalangan umat yang selama ini nianfo, melafalkan nama Buddha Amitabha dengan keyakinan yang dilandasi rasa hormat dan ketulusan. Sebenarnya, dalam pertanyaan ini sudah beberapa hari, karena semakin banyak yang bertanya (umat galau karena merasa apa yang dilakukan selama ini percuma), akhirnya sami diarahkan untuk segera mencoba menyampaikan pendapat yang berdasarkan esensi Buddha Dharma.
Intinya, yang mampu menghalangi kita untuk terlahir di Sukhavati, di hadapan Buddha Amitabha, adalah keraguan dan karma buruk. Bukan lafal "A" atau "E". Asalkan tulus, lafal Amitofo pun akan mengantar kita pada pencapaian Sukhavati setelah maupun dalam kehidupan ini juga. Karma buruk luar biasa terhasilkan dari sang penyampai informasi yang belum mampu mengemas informasi yang menurutnya baik, dengan cara yang baik pula. Seperti memberi bayi yang baru lahir makan kacang, dapat menyebabkan kematiannya, demikian pula, penyampai informasi ini telah menyampaikan informasi yang tidak dikemas dengan baik, sehingga menimbulkan keraguan pada praktisi nianfo, yang mana berarti menambah HALANGAN langsung pada mereka untuk mencapai Sukhavati.
Sami tentu tidak berkepentingan selain semakin banyak makhluk (bukan hanya manusia) yang dapat terbebas dari samsara, sehingga, hanya ingin membantu menyadarkan akibat karma buruk yang mungkin tanpa tersadar telah terlakukan penulis, sehingga, dengan segera menyadari, mempertobatkan, dan memperbaiki metode penyampaian, semoga ia dapat terhindar dari tiga alam sengsara dan mencapai kebahagiaan sejati.
Seperti halnya, pernah ada kasus yang jauh lebih "parah" bila dinilai menurut sudut pandang penulis artikel tersebut, yang terjadi di China
Seorang ibu tua yang setelah membaca manfaat mantram Om Mani Padme Hum (嗡嘛尼叭彌吽), iapun mulai membaca mantram Avalokitesvara Bodhisattva tersebut setiap harinya, di depan altar, ia selalu menyiapkan dua gelas yang salah satunya berisi kacang untuk membantunya berhitung. Namun, karena keterbatas pemahaman karakter mandarinnya, ia salah menerjemahkan bunyi dari aksara terakhir: 吽.
Karena Aksara Hum, dalam bahasa mandarin terdiri dari aksara mulut (kou: 口) dan sapi (Niu: 牛), sehingga sang nenek pun salah paham, dan dengan tulus membaca berulang-ulang Om Mani Padme Niu sembari berkonsentrasi pada Avalokitesvara Bodhisattva.
Setelah 20 tahun berlatih dengan ketulusan, setiap ia membaca Om Mani Padme Niu, kacangnya sudah melompat sendiri ke gelas berikutnya, untuk membantunya menghitung., ini semata-mata terjadi karena daya konsentrasinya. Hingga suatu hari, seorang bhiksu muda (kasus ini mirip, dimana yang menyebabkan kebenaran tersalahkan karena penyampaian, adalah anak muda yang belum berpengalaman) tanpa sengaja melewati rumahnya, dan ketika mendengar ada yang membaca Om Mani Padme Niu, tentu saja ia sangat kaget, dan segera mengetuk pintu sang nenek.
Ia menyatakan: “Nek, tahukah engkau bahwa anda sudah melakukan kesalahan fatal? Engkau telah salah membaca mantram welas asih dari Avalokitesvara Bodhisattva, ini dapat berakibat terjatuh ke neraka! Yang benar adalah Om Mani Padme Hum!”
Mendengar ini, sang nenek pun sangat ketakutan dan sedih, dan mulai mengganti mantram yang ia baca menjadi Om Mani Padme Hum, namun kacang2nya tidak bergerak sedikitpun.
Mengapa? Karena ketakutan, kesedihannya dan rasa bahwa yang selama ini dibaca adalah percuma karena salah, telah mencemari pikiran murninya, sehingga kekuatan mantra yang berasal dari hati polosnya hilang.
Ketika bhiksu muda ini pulang, ia menceritakan kasus ini pada sang guru dan tanpa banyak bicara, sang guru menampar wajahnya dan berkata: “Engkaulah yang akan terjatuh ke neraka, bagaimana dapat engkau dengan tanpa welas asih, menghancurkan semangat seorang nenek yang tulus berlatih? Buddha tidak mengajarkan kerahasiaan, mantram yang diajarkan, semata-mata adalah untuk membantu mengarahkan batin pada kebaikan. Om Mani Padme Niu, karena dibacakannya dengan pikiran terpusat pada Avalokitesvara Bodhisattva, telah berhasil membimbingnya pada Samadhi. Namun, pernyataanmu yang seolah benar, telah menyeretnya jatuh dalam penyesalan dan kesedihan.”
Sang bhiksu muda pun segera menuju kediaman sang nenek, memohon maaf dan menyatakan tidak apa-apa untuk melatih seperti terdahulu. Sang nenek sangat bergembira, begitu ia berkonsentrasi seperti biasanya, kacang kembali melompat..
Hm, terakhir, bila bahasa sangat mempengaruhi, maka kata Amithofo sudah salah dari dulu, walaupun dibaca Emithuofo, mengapa? Karena kata Amita”bha”, diterjemahkan menjadi Amito”fo”, “Bha” dan “Fo” bunyinya jauh tidak?
Kemudian, bila dikatakan “Fo” itu terjemahan dari “Buddha”, jauh tidak bunyinya? Jadi, tidak ada masalah berlebihan tentang perbedaan bunyi yang didasari rasa hormat yang tulus.
Semoga senantiasa berbahagia sehingga dapat selalu menebarkan bibit kebahagiaan pada semua makhluk,
Amithofo.
🙏
Salam Mudita
Namo Sakyamuni Buddhaya
Namo Amitabha Tathagataya
Tanya:
Amithofo sami, saya ingin bertanya, bagaimana pendapat sami mengenai artikel yang menyatakan bahwa pelafalan Amithofo atau Amitabha berdasar ejaan bahasa Indonesia adalah suatu kesalahan, harusnya dibaca "E", bukan "A" ?
Jawab:
Salam hangat sahabat,
Penulis tentu merupakan seorang terpelajar dan peduli pada perkembangan dan kesejahteraan umat Buddha. Bila tidak, tentu ia tidak akan berlelah mencari dan mengetik informasi yang sedemikian detilnya.
Dapat kita katakan tidak ada kesalahan signifikan dalam penyampaian beliau, selain pada metode penyampaian yang mungkin, kembali lagi, karena semata-mata tidak diketahui akibatnya, telah menyebabkan buah karma buruk yang cukup beratlah yang tertuai.
Mengapa?
Buddha bukanlah manusia atau makhluk, melainkan pelampauan makhluk, sehingga, "Ia" bukanlah seorang guru bahasa yang kaku, walau bukan berarti bisa sekenanya saja. Banyak yang tetap terlahir ke Sukhavati walaupun membaca Amitabha atau Amithofo atau bahkan Amitofo, atau Amitohut, atau Amida butsu.
Mengapa?
Karena esensi dari nama seorang Buddha, adalah pada perenungan kualitas baik dari Buddha tersebut (Buddhanussati), namaNya hanyalah sebatas "pengantar" kita agar dapat senantiasa mengingat dan merenungkan kualitas2Nya, membantu kita melarutkan kualitas-kualitasNya dalam kehidupan kita dengan terus melafalkan namaNya seiring beraktivitas.
Nama Buddha bukanlah Mantra, Mantra, menekankan pada bunyi, nama Buddha menekankan pada makna dan arti yang mendalam. Sehingga, Amitabha, dapat juga dibaca sebagai Wuliang Shou Fo, Buddha Usia Tanpa Batas, atau Buddha Cahaya Tanpa Batas. Hanya saja karena alasan kesederhanaan, kita tetap menggunakan 4 suku kata, Amitabha atau Amithofo.
Tentu saja, karenanya tidak ada masalah berlebihan dari perbedaan cara pengucapan, yang penting adalah tingkat ketulusan dan kemurnian niat.
Dengan memahami ini, adalah tidak perlu muncul sedikitpun kebingungan dan keraguan pada sahabat seDharma yang telah melafalkan Amitohut, atau Amitofo sehari-hari.
Adalah benar bahwa artikel tersebut mungkin ditulis seorang yang cukup berpendidikan atau pintar, diukur secara pengetahuan duniawi yang baru berusia kurang dari 10.000 tahun. Namun, esensi Buddha Dharma yang telah berusia berkalpa-kalpa (1 kalpa kurang lebih 10^140 tahun), tidak mampu terwakilkan dengan baik dalam tulisan yang hanya dilihat dari sudut pandang kebenaran tekstual semata.
Sehingga, bila ditanya, sami hanya bisa menyatakan, tidak masalah Amithofo, Emithofo, Amithuofo, Emithuofo, Amitabha, Amida Buddha, Amita Buddha, Emitabha, Emida Buddha, Emita Buddha, Amitofut, Amithohut, yang anda baca, selama pikiran adalah ditekadkan pada keagungan dan 48 Maha Ikrar Buddha di Sukhavati, tidak ada masalah.
Intinya, yang mampu menghalangi kita untuk terlahir di Sukhavati, di hadapan Buddha Amitabha, adalah keraguan dan karma buruk. Bukan lafal "A" atau "E". Asalkan tulus, lafal Amitofo pun akan mengantar kita pada pencapaian Sukhavati setelah maupun dalam kehidupan ini juga.
Sekali lagi, sahabat, penulis dan penyebar informasi sama sekali tidak menyampaikan hal yang salah, mereka menyampaikan hal yang benar walaupun patut dikasihani telah tanpa sadar menyebabkan karma buruk yang berat dari apa yang telah dilakukan.
Mengapa?
Karena salah satu dari tiga penyebab perbuatan buruk (lobha, dosa, moha) adalah moha, ketidaktahuan, yang merujuk pada tidak dimilikinya pengetahuan yang menyeluruh, namun menyatakan hal yang tidak menyeluruh tersebut seolah menyeluruh.
Dari penyampaian seperti itu, tanpa sadar penulis blog ini dan penyebar informasi telah menyebabkan keraguan muncul dengan signifikan di kalangan umat yang selama ini nianfo, melafalkan nama Buddha Amitabha dengan keyakinan yang dilandasi rasa hormat dan ketulusan. Sebenarnya, dalam pertanyaan ini sudah beberapa hari, karena semakin banyak yang bertanya (umat galau karena merasa apa yang dilakukan selama ini percuma), akhirnya sami diarahkan untuk segera mencoba menyampaikan pendapat yang berdasarkan esensi Buddha Dharma.
Intinya, yang mampu menghalangi kita untuk terlahir di Sukhavati, di hadapan Buddha Amitabha, adalah keraguan dan karma buruk. Bukan lafal "A" atau "E". Asalkan tulus, lafal Amitofo pun akan mengantar kita pada pencapaian Sukhavati setelah maupun dalam kehidupan ini juga. Karma buruk luar biasa terhasilkan dari sang penyampai informasi yang belum mampu mengemas informasi yang menurutnya baik, dengan cara yang baik pula. Seperti memberi bayi yang baru lahir makan kacang, dapat menyebabkan kematiannya, demikian pula, penyampai informasi ini telah menyampaikan informasi yang tidak dikemas dengan baik, sehingga menimbulkan keraguan pada praktisi nianfo, yang mana berarti menambah HALANGAN langsung pada mereka untuk mencapai Sukhavati.
Sami tentu tidak berkepentingan selain semakin banyak makhluk (bukan hanya manusia) yang dapat terbebas dari samsara, sehingga, hanya ingin membantu menyadarkan akibat karma buruk yang mungkin tanpa tersadar telah terlakukan penulis, sehingga, dengan segera menyadari, mempertobatkan, dan memperbaiki metode penyampaian, semoga ia dapat terhindar dari tiga alam sengsara dan mencapai kebahagiaan sejati.
Seperti halnya, pernah ada kasus yang jauh lebih "parah" bila dinilai menurut sudut pandang penulis artikel tersebut, yang terjadi di China
Seorang ibu tua yang setelah membaca manfaat mantram Om Mani Padme Hum (嗡嘛尼叭彌吽), iapun mulai membaca mantram Avalokitesvara Bodhisattva tersebut setiap harinya, di depan altar, ia selalu menyiapkan dua gelas yang salah satunya berisi kacang untuk membantunya berhitung. Namun, karena keterbatas pemahaman karakter mandarinnya, ia salah menerjemahkan bunyi dari aksara terakhir: 吽.
Karena Aksara Hum, dalam bahasa mandarin terdiri dari aksara mulut (kou: 口) dan sapi (Niu: 牛), sehingga sang nenek pun salah paham, dan dengan tulus membaca berulang-ulang Om Mani Padme Niu sembari berkonsentrasi pada Avalokitesvara Bodhisattva.
Setelah 20 tahun berlatih dengan ketulusan, setiap ia membaca Om Mani Padme Niu, kacangnya sudah melompat sendiri ke gelas berikutnya, untuk membantunya menghitung., ini semata-mata terjadi karena daya konsentrasinya. Hingga suatu hari, seorang bhiksu muda (kasus ini mirip, dimana yang menyebabkan kebenaran tersalahkan karena penyampaian, adalah anak muda yang belum berpengalaman) tanpa sengaja melewati rumahnya, dan ketika mendengar ada yang membaca Om Mani Padme Niu, tentu saja ia sangat kaget, dan segera mengetuk pintu sang nenek.
Ia menyatakan: “Nek, tahukah engkau bahwa anda sudah melakukan kesalahan fatal? Engkau telah salah membaca mantram welas asih dari Avalokitesvara Bodhisattva, ini dapat berakibat terjatuh ke neraka! Yang benar adalah Om Mani Padme Hum!”
Mendengar ini, sang nenek pun sangat ketakutan dan sedih, dan mulai mengganti mantram yang ia baca menjadi Om Mani Padme Hum, namun kacang2nya tidak bergerak sedikitpun.
Mengapa? Karena ketakutan, kesedihannya dan rasa bahwa yang selama ini dibaca adalah percuma karena salah, telah mencemari pikiran murninya, sehingga kekuatan mantra yang berasal dari hati polosnya hilang.
Ketika bhiksu muda ini pulang, ia menceritakan kasus ini pada sang guru dan tanpa banyak bicara, sang guru menampar wajahnya dan berkata: “Engkaulah yang akan terjatuh ke neraka, bagaimana dapat engkau dengan tanpa welas asih, menghancurkan semangat seorang nenek yang tulus berlatih? Buddha tidak mengajarkan kerahasiaan, mantram yang diajarkan, semata-mata adalah untuk membantu mengarahkan batin pada kebaikan. Om Mani Padme Niu, karena dibacakannya dengan pikiran terpusat pada Avalokitesvara Bodhisattva, telah berhasil membimbingnya pada Samadhi. Namun, pernyataanmu yang seolah benar, telah menyeretnya jatuh dalam penyesalan dan kesedihan.”
Sang bhiksu muda pun segera menuju kediaman sang nenek, memohon maaf dan menyatakan tidak apa-apa untuk melatih seperti terdahulu. Sang nenek sangat bergembira, begitu ia berkonsentrasi seperti biasanya, kacang kembali melompat..
Hm, terakhir, bila bahasa sangat mempengaruhi, maka kata Amithofo sudah salah dari dulu, walaupun dibaca Emithuofo, mengapa? Karena kata Amita”bha”, diterjemahkan menjadi Amito”fo”, “Bha” dan “Fo” bunyinya jauh tidak?
Kemudian, bila dikatakan “Fo” itu terjemahan dari “Buddha”, jauh tidak bunyinya? Jadi, tidak ada masalah berlebihan tentang perbedaan bunyi yang didasari rasa hormat yang tulus.
Semoga senantiasa berbahagia sehingga dapat selalu menebarkan bibit kebahagiaan pada semua makhluk,
Amithofo.
🙏
Salam Mudita